Terhanyut Bersama Sunan Kalijaga di Sungai Kreo

Ngintir atau bahasa bakunya hanyut atau terhanyut. Demi menapak tilas perjalanan Sunan Kalijaga menghanyutkan kayu-kayu di Sungai Kreo untuk dijadikan tiang Soko Guru Masjid Demak, kami bukan mencoba susahnya mengendalikan gelondongan kayu tapi lebih tepatnya merasakan susahnya menjadi kayu yang terhanyut dihempas arus kuat Sungai Kreo.

Desa wisata Kandri, sekitar 1 jam perjalanan dari Kota Semarang. Hamparan sawah menyambut kami begitu memasuki Desa Kandri yang sedang menggeliat menggalakan potensi wisata desanya. Selain agrowisata, tentunya body rafting sebagai sarana napak tilas Sunan Kalijaga adalah potensi wisata terbesar yang dimiliki Desa Kandri. Entah dengan teman-teman blogger lain, tapi saya sangat antusias untuk mencoba body rafting, menghanyutkan diri mengikuti aliran sungai hanya menggunakan life jacket dan ban dalam truck, karena ini merupakan pengalaman pertama saya. Apalagi saat panitia menunjukkan video rekaman sebagai gambaran rintangan apa saja yang akan kami lewati saat “terhanyut” sejauh 3 Km di Sungai Kreo. Di awal perjalanan saja, kami harus melompat dari bendungan setinggi 2-3 meter….ahhh sepertinya ini akan jadi pengalaman pertama yang sangat mengesankan paling tidak buat saya.

Memulai petualangan di Sungai Kreo
Memulai petualangan di Sungai Kreo
Penjelasan singkat dari Skeeper tentang posisi duduk, cara membebaskan diri saat ban tersangkut dan tindakan pertama saat terjatuh dari ban dijelaskan detail. Sayangnya tidak ada penjelasan bagaimana harus bertindak jika saat terguling dari atas ban lalu teman di belakang melindas kepalamu berkali-kali menggunakan (maaf) bokongnya.
Standar keselamatan body rafting
Standar keselamatan body rafting
Di awal lintasan selama 10 menit, kami beradaptasi dengan arus tenang. Belajar bagaimana harus mengangkat badan saat melintas di aliran sungai berbatu dan belajar bagaimana menggabungkan diri (tandem) layaknya Power Ranger yang membentuk 1 formasi robot. Tawa membahana di tengah gemuruh aliran sungai seketika berhenti ketika kami tiba di bibir bendungan. Muka-muka panik mulai bermekaran, beberapa teman malah ada yang langsung memutuskan untuk mengitari bendungan hingga ke aliran sungai di bawahnya. Melompat pun ada 2 macam, melemparkan ban terlebih dahulu baru melompat atau melompat bersamaan langsung dengan ban dan yang pasti ini lebih menantang. Seingat saya, saya orang kedua yang melompat setelah Kak Richo, dan sukses melompat bersamaan dengan ban.
Harus melompat di awal rafting
Harus melompat di awal rafting
Setelah melompat dari bendungan, ngintir yang sesungguhnya barulah berawal. Arus mulai deras dengan batu-batu besar di kanan kiri. Di jeram pertama saya sukses terbalik dan terantuk-antuk batu. Lutut dan siku punya oleh-oleh lebam dari Sungai Kreo. Beruntung ada seorang skeeper yang membantu saya untuk kembali naik ke atas ban yang ternyata cukup sulit dilakukan di tengah arus kencang. Jeram-jeram selanjutnya berhasil saya lalui dengan mulus, mungkin karena sudah terbiasa mengatur turun naiknya badan saat menghadapi jeram. Hingga akhirnya entah di jeram keberapa kami di perintahkan untuk bertandem. Mungkin ada sekitar 5-6 orang di belakang saya. Kebetulan saya ada di posisi paling depan mengendalikan pria-pria bertubuh tidak kecil. Entah karena kami memang terlalu besar, ban saya tersangkut diantara batu dan aliran yang deras. Ibaratnya saya menjadi penghalang bagi 5 orang di belakang saya untuk melewati jeram. Karena terus didesak oleh pasukan yang tidak kecil, jadilah saya terguling meninggalkan ban saya entah kemana. Bukan batu ataupun wajah teman-teman yang saya lihat, saya tepat berada di bawah lintasan teman-teman  yang lain. 5 pasang bokong kanan dan kiri melindas, memaksa saya untuk tetap berada di bawah permukaan air menekan badan saya ke batu kali di bawah, untungnya yang melindas terbilang empuk semua @_@.
Korban berjatuhan
Korban berjatuhan
Di beberapa titik saat arus tak begitu liar, memandangi hutan bambu dan air terjun-air terjun kecil menjadi sarana untuk mengatur napas setelah terhempas arus liar. Menenangkan diri, menikmati alam, menikmati sensasi terhanyut perlahan sebelum kembali berhadapan dengan arus menggila dan batu-batu sebagai halang rintang.
Menikmati pemandangan saat arus tenang
Menikmati pemandangan saat arus tenang
Kembali memacu adrenalin
Kembali memacu adrenalin
2 jam terlewati tanpa terasa. Memang seru, apalagi untuk saya yang baru merasakan sensasi body rafting. Tak sedikit teman-teman yang terluka, lebam di sekujur tubuh tapi saya yakin semua menikmati sensasi terhanyut di Sungai Kreo. Bukan hanya terhanyut, ada cerita sejarah di balik ngintir di Sungai Kreo. Di ujung perjalanan, aneka rebusan pisang, ketela dan segelas kolang kaling mengisi kembali energi kami sebelum ditutup dengan Sego Kethek dan es kelapa segar. Pakaian basah sudah tak kami hiraukan. Bersantap dan bercerita seru pengalaman kami berjibaku dengan arus dan batu terlalu menarik untuk kami simpan sendiri.
Sego Kethek dan Kelapa
Sego Kethek dan Kelapa
Catatan C4ME :
Tulisan ini sebagai bagian dari kegiatan FamTrip yang diadakan oleh Badan Promosi Pariwisata Kota Semarang (BP2KS) dalam rangka mengangkat potensi wisata di Kota Semarang. Tanggal 6-8 Mei 2016 adalah suatu kebanggaan untuk saya karena ikut serta menjadikan #SemarangHebat menjadi trending topic. Terima kasih Semarang, terima kasih Bapak Hendrar Prihadi, terima kasih BP2KS.
Kami setelah direndam sejauh 3 kilometer
Kami setelah direndam sejauh 3 kilometer

Photo : Dokumentasi panitia

Enterpreneur, Travel Blogger, Instagramer, Hotel & Resto Reviewer, Fuji Film User.
6 Responses
  1. Bayu Setiawan

    Ngintir? hmm kalau saya taunya kintir mas sama sih artinya dan sama – sama bahasa jawa.. mungkin hanya berbeda di pengucapan saja ya..

  2. BaRT

    Meskipun gak lebar, Kali Kreo ini lumayan juga ya arusnya. Beberapa kali ke Semarang dalam bulan-bulan belakangan ini, tapi belum kesampaian untuk body rafting di Kali Kreo ,,, harus coba ah kapan-kapan 🙂

Leave a Reply