Beberapa kali kami harus melambatkan laju kendaraan karena longsor di beberapa ruas jalan. Akses menuju tugu titik 0 kilometer, Sabang, terbilang sudah sangat baik dengan jalan beraspal, namun kadang hujan lebat mengakibatkan longsor di beberapa titik jalan. Saat itu, perbaikan jalan sedang berlangsung sehingga menyisakan satu ruas jalan aktif untuk dilalui.
Kawanan monyet kerap menyapa di setiap tikungan. Kami memang menembus hutan di ujung barat Indonesia. Berbatas tebing menghijau di kiri kami dan pandangan lautan luas tak bertepi di kanan kami. Hanya membutuhkan waktu sekitar 1 jam dari pusat kota untuk mencapai tugu 0 kilometer.
Saat jalan beraspal menemui ujungnya, itu penanda kami telah tiba di titik terluar Indonesia. Ada rasa bangga dan haru yang tiba-tiba merebak. Saya sudah menuntaskan perjalanan ke ujung barat Indonesia. Dalam hati saya menyematkan doa, semoga masih ada kesempatan untuk saya berkunjung ke ujung timur Indonesia.
Kekecewaan menyergap kami ketika tahu tugu 0 Kilometer sedang dalam masa renovasi. Kondisi cuaca yang ekstrem justru menyebabkan tugu tersebut terlihat bukan sedang dalam masa renovasi melainkan seperti tugu yang rusak diamuk badai.
Beberapa bagian plat terlihat menjengit tak semestinya. Tiang pondasi setengah jadi terlihat seperti tiang rumah yang hancur sehabis gempa. Tulang-tulang besi mencuat dari badan tiang. Ornamen rencong juga terlihat meliuk tak semestinya. Ada kekhawatiran bahwa besi-besi itu akan jatuh menimpa pengunjung saat ada angin besar. Posisinya yang menghadap laut lepas, Selat Malaka memang berangin cukup kencang.
Baca juga: 12 tahun mengenang tsunami di Museum Tsunami Aceh
Belum habis rasa kecewa kami, jauh diseberang lautan kami melihat awan kelabu bergulung cepat kearah kami. Badai tak dapat dielakkan. Kami berhambur mencari tempat berteduh. Jajaran warung suvenir menjadi pelarian kami. Entah karena hari itu bukan hari libur, atau penduduk setempat sudah tahu akan kedatangan badai, tak ada satupun warung yang buka. Bahkan diujung, warung kecil bertuliskan “Tempat Mengambil Sertifikat” pun tidak terlihat ada kehidupan.
Angin kencang menampar atap terpal sehingga kami tak sepenuhnya kering saat berteduh di jajaran warung tak bernyawa itu. Tak ada langit biru berbatas laut di cakrawala, kami hanya mencoba ceriakan suasana saat seorang penduduk lokal ikut berteduh bersama kami dan mulai bercerita.
“Sebenarnya titik 0 Indonesia itu bukan di sini mas!”
Awalnya kami pikir bapak ini bercanda, namun beliau terus bercerita tentang pulau lain yang berada di ujung barat terluar Indonesia. Adalah Pulau Rondo, pulau sejauh 15 kilometer dari Sabang yang memiliki tugu 0 Kilometer sesungguhnya. Tak semegah tugu di Sabang, di Pulau Rondo hanya terdapat monumen kecil yang mungkin tak begitu terurus.
Untuk menuju kesana pun harus menumpang kapal patroli TNI yang berjaga di pulau tak berpenghuni itu. Itupun harus disambung lagi dengan perahu karet karena perairan berkarang dan harus berjalan kaki menembus hutan menaiki pulau yang berbentuk seperti tempurung kelapa.
Badai membawa berkah pikir kami. Sedikit menambah pengetahuan kami tentang ibu pertiwi. Keputusan menetapkan Sabang sebagai titik 0 kilometer hanya karena akses yang lebih mudah dan konon katanya Pulau Rondo memiliki cadangan kekayaan alam yang besar sehingga tak sembarang orang bisa menjejakkan kaki di sana.
Angin bertiup kencang membawa awan kelabu menjauh dari kami. Memang tetap tak menyibak langit biru namun setidaknya memberikan kami kesempatan untuk mengabadikan tulisan KILOMETER 0 INDONESIA.
Tak ada monumen yang kami daki bahkan tak ada sertifikat penanda kami telah tiba di ujung Indonesia, namun badai membawa kisah baru untuk kami, ternyata titik 0 kilometer Indonesia bukan di Sabang!!!
Catatan C4ME:
- Tugu ini terletak di Ujong Bau, Gampong, Ibioh, dengan waktu tempuh sekitar 45 menit sampai 1 jam dengan kendaraan bermotor
- Tidak ada biaya masuk di tugu 0 kilometer
- Hindari waktu kunjung yang terlalu sore karena cuaca ekstrem dan tidak ada penerangan di sepanjang jalan
- Pastikan untuk mencoba pisang goreng khas Iboih, dijamin hanya ada di pulau ini.
Kalau ditarik berdasarkan garis bujur, Pulau Breuh adalah yang terbarat Mas. 🙂
Makasi, info baru nih mas 🙂
Maaf mas, saya sudah pernah ke menara suar pulau breueh. Di ujung paling barat masih ada Pulau Benggala
Teman-teman di Aceh juga bilang sebenarnya titik 0 KM itu bukan terletak di lokasi yang ada tugunya itu.
Iya pulau rondo mas
Jadi pulau rondo ya. Cuma kenapa yang di sana jadi gak dipublikasi ya?
Lalu untuk perbaikan ini kayaknya udah lama banget masa perbaikannya.
Ud dijawab di FB koh hahha
mungkin kalau dari awal dibilang ada di pulau rondo, bakal susah juga kalau wisatawan mau ke sana, ya
Iya memang aksesnya susah dan agak bahaya krn ombak yang tinggi
Yaampun baru tahu ternyata ada pulau Rondo. Malah jadi pengen ke pulau Rondonya dari pada ke titik nol Sabang ahahaha. Tapi tetap lah Sabang harus dikunjungi pantai-pantainya indah yaa kak katanya. Masih jadi bucket list bisa kesini 😀
Pantainya indah tp ombaknya ganas, Ghana hehe
Hmmmm, memang pertimbangannya mengapa tugu 0 kilometer ditaruh di Sabang supaya untuk mempermudah akses wisata, terutama, simbolis, karena bagaimana pun memang titik nol di sisi barat Indonesia itu milik Aceh hehe. Kecuali ada akses yang terjangkau buat ke PUlau Rondo, karena lihat peta kayaknya memang menguras tenaga ya 😀
Menguras tenaga dan bahaya kayanya
Setahu saya perihal tugu titik nol ditaruh di sabang agar mudah dijangkau wisatawan.
Jika kubaca di buku 100 hari keliling indonesia lokasi terluar ujung barat itu pulau Rondo yang berbatasan langsung dengan Pulau Nicobar (India). Tapi kemarin saya ngobrol dengan teman, beliau bilang kalau ditarik berdasarnya gris bujur, pulau Breuh yang paling ujung barat.
Nah ini juga kmrn ada yang bilang Pulau Breuh, entah mana yang bener hehe
apakah disana terdapt sinyal yang kuat
Sinyal baik2 aja