Sekarang ini siapa tidak tahu Sawarna? Desa di wilayah Banten, kecamatan Bayah. Desa Sawarna yang terpadu dan punya “sejuta” lokasi untuk dikunjungi, Pantai (pastinya), sungai, sawah, goa, olahraga ekstrim, sampe cerita mistis… you named it they have it.
Menurut Pak Ade (pemilik Homestay Widi tempat kita menginap) Wilayah Sawarna sudah dilirik untuk jadi potensi wisata sejak awal tahun 2000-an. Sebut saja pantai Sawarna, dengan pantai memanjang plus pasir putih, spot sunset dan sunrise, ditambah ombak besar, bukan hanya wisatawan lokal saja yang datang, wisatawan asing pun banyak yang terkagum-kagum dengan wilayah ini.
Terletak di kaki Bukit Pasir Tangkil, untuk menuju ke sini, kami harus berjalan kaki. Karena ini adalah spot terjauh dari kawasan desa Sawarna, kami memutuskan Goa Lalay sebagai destinasi pertama kami.
Waktu tempuh dari desa Sawarna hingga tiba di Goa Lalay adalah 30 menit, itupun karena kami berjalan “super” santai yang sebenarnya bisa dipangkas menjadi 10 menit saja jika berjalan sedikit bergesa. Jarak dari penginapan sekitar 2 KM melewati rumah-rumah warga hingga bertemu sign “Goa Lalay” di kanan jalan. Setelah berbelok kekanan ini, kita disuguhi hamparan sawah menghijau yang benar-benar menyegarkan pandangan.
Jalan setapak/pematang sawah ini membagi area persawahan di sebelah kiri dan aliran sungai yang cukup lebar dan deras di sebelah kanan. Aliran sungai ini sepertinya masih digunakan oleh penduduk setempat untuk kebutuhan mandi dan mencuci. Karena kami datang masih cukup pagi, kami bisa melihat aktivitas anak-anak yang sedang mandi dan para ibu yang sedang mencuci baju.
Di ujung jalan setapak ada sebuah jembatan terbentang menyeberangi aliran sungai. Terlihat cukup kontras dengan kondisi rumah yang ada di pematang sawah yang terbuat dari kayu dan bilik beranyam sementara jembatan bercat kuning ini terbuat dari besi dengan tali-tali baja yang menyangganya. Jembatan ini bahkan bisa dilalui oleh motor dan masih menyisakan ruang untuk pejalan kaki jika berpapasan di tengah jembatan.
Selepas jembatan kita kembali menyusuri jalan setapak namun kali ini diapit oleh sawah dan sedikit hutan bambu yang lengkap dengan beberapa nisan mencuat. Rupanya di sini memang lokasi warga untuk mengebumikan sanak saudara yang meninggal. Mungkin karena terpisah dari pemukiman warga dan dibatasi oleh bukit kecil di belakangnya sehingga jarang digunakan warga untuk lalu lalang.
Tak jauh dari lokasi kuburan ada saung kecil yang ternyata adalah pos untuk pengunjung yang mau menjelajahi Goa Lalay. Ada loket untuk membeli tiket masuk serta penyewaan helm dan senter. Untuk senter sepertinya wajib karena di dalam goa kondisinya sangat gelap sementara untuk helm lebih opsional karena relatif aman.
Sedikit terkejut saat melihat pintu masuk Goa Lalay yang berukuran cukup mini dan setengah terendam air. Sebenarnya ada akses masuk lain di sampingnya menggunakan tangga kayu namun sudah tidak digunakan lagi karena keropos termakan waktu. Pemandu kami pun terus mengingatkan untuk berhati-hati dan menganjurkan untuk tidak menggunakan alas kaki supaya tidak berat saat melangkah karena sepanjang goa akan dialiri sungai kecil dengan kedalaman yang beragam dari mata kaki, betis hingga paha orang dewasa di bagian dalam goa. Dasar aliran sungai pun bervariasi dari batuan hingga lumpur.
Begitu masuk kedalam, 10 meter pertama kami masih bisa melihat cahaya matahari di mulut goa yang menyinari punggung kami. Selepas itu, goanya gelap, sunyi senyap hanya terdengar suara langkah kami yang memecah permukaan air, tetesan air dan riak air yang bertabrakan dengan dinding Goa yang menimbulkan suara dan gema-gema yang cukup asing di telinga.
Banyak stalaktit dan stalakmit di dinding goa Karst ini. Kabarnya dulu di goa ini dihuni oleh ratusan kelelawar dan ular sebagai predator kelelawar. Namun seiring berjalan waktu dan semakin ramainya orang, koloni kelelawar sudah tidak lagi menghuni goa ini. Miris memang, karena ke’tamak’an kita sampai harus mengusir kawanan kelelawar dari habitatnya. Namun menurut warga lokal, masih ada ular besar yang berdiam di dalam goa ini.
Perjalanan di dalam perut goa yang berkelok2 cukup mengasyikan. Semua rasa campur aduk, antara kagum, dan sedikit paranoid dengan cerita tentang ular plus keberadaan kuburan yang sudah pasti goa-goa semacam ini dihuni oleh makhluk tak kasat mata. Tidak semua lokasi goa bisa kita jelajahi. sekitar 400 meter, kita bertemu tempat seperti kubah, dengan air yang agak dangkal, disini perjalanan harus berakhir.
Sementara untuk menjelajah lebih lanjut harus menggunakan jasa pemandu profesional dan dilengkapi dengan peralatan yang memadai. Hanya ada undakan kecil yang mengarah ke lubang kecil menganga di satu bagian dinding gua. Entah apa yang ada di balik sana, bahkan untuk merangkak masuk saja tak bisa saya bayangkan.
Sekadar tips untuk yang mau berkunjung ke Goa Lalay (dan memang diterapkan oleh petugas) untuk memberikan jeda antara satu rombongan dan rombongan lain. Gunanya untuk menjaga suasana goa tetap tenang dan bisa merasakan sensasi sepinya. Selain itu supaya tidak pengap karena oksigen yang tidak banyak di dalam perut goa.
Selain Goa Lalay, di Desa Sawarna ini masih ada Goa Langir yang bisa kamu kunjungi.
Goanya masih alami ya, ga pake penerangan ato wahana buatan kaya beberapa goa di Jatim hehe. Seruu.
Baru tau di Sawarna ada goa juga?
Banyak mas, ada goa langir, goa seribu candi, dll.
Makasi sdh mampir
Gan, kalo saya mau ke sawarna nginep di pantai sawarna. Tapi pngen ke tanjung layar-legon pari-karang beureum-karang taraje itu perjalanannya bisa jalan kaki atau harus pakai kendaraan? Nah trus klo jalan kaki japannya menyusuri pantai? Trus kalo pake kendaraan jalannya kmn ya? Atas jawabannya saya ucapkan terimakasih. Klo bisa kominikasi via email, saya mau ksana takutnya mengecewakan. Email saya [email protected]