Mari masuk di Kampung Namata…Anak-anak Kota…Seru para Wowadu.
Ahhh Ku lihat kalian telah diperciki dan berkalung tenun dari warga Namata. Tenang saja, air untuk membilas segala macam hal jahat yang ikut bersama kalian, sedangkan tenun yang akan menjaga kalian dari segala bala.
Maaf kalian tidak bisa disambut sebagaimana layaknya. Salahkan pandemi, kalian tidak bisa mengakrabkan diri dengan tradisi Henge’dao. Tradisi cium hidung, sebagai lambang kalian sudah menjadi bagian keluarga Namata. Tak apa….dengan tenun melingkari leher, kalian sudah Kami anggap sebagai keluarga…Mari Masuk!
Anak-anak Kota beranjak masuk menaiki undakan-undakan tanah yang berselingan dengan batu karang. Di apit oleh rumah-rumah adat beratap rumbia yang warnanya mengabu. Kekaguman terpancar dari mata mereka. Surreal memang pemandangan di Sabu. Terlihat kering kerontang suram namun berlatar langit biru nan ceria lengkap dengan awan putih yang berarak.
Selamat datang di rumah Kami, Kampung Adat Namata!
Kampung Kami memang kering kerontang. Hujan hanya menyapa sesekali. Hati-hati melangkah karena tanah Kami didominasi cadas. Namun begitu, Robo Aba, Bapak dari 4 suku besar yang ada di Sabu, merasa Namata adalah tempat yang tepat untuk mendirikan perkampungan. Sebelumnya Robo Aba tinggal di wilayah Hanga Rae Robo. Ketika Robo Aba memutuskan pindah, maka Kami para Wowadu pun dibawanya serta. Tak semua, karena ada beberapa saudara Kami yang tertinggal. Jika nanti kalian mengunjungi Bukit Doa Skyber, di sana ada satu saudara Kami.
Semakin banyak warga Namata yang mengekori Anak-anak Kota menuju lokasi Wowadu bersemayam. Mereka sendiri baru tersadar sudah tidak berjalan dalam satu kelompok. Entah sudah tercecer di mana kelompok mereka. Terlalu banyak hal menarik di Kampung Namata bagi Anak-anak Kota!
Hanya ada 7 rumah di sini… Kembali Wowadu bercerita layaknya tuan rumah yang baik.
Konon rumah-rumah di Namata adalah perahu yang dibalik untuk dijadikan tempat bernaung. Silakan kalian tengok. Rumah warga Namata seperti rumah adat umumnya, terdapat pembagian antara ruang lelaki dan perempuan serta anak-anak. Di bagian langit-langit rumah menjadi tempat untuk menyimpan makanan. Namun 1 rumah yang tidak boleh kalian abadikan bagian dalamnya. Di situ tempat warga Namata meletakan alat-alat sakral untuk ritual serta pemujaan dewa. Warga Namata menganut kepercayaan Djingi Tiu, maka mereka masih menyembah para Dewa Dewa dan Kami Wowadu yang memiliki kekuatan magis.
Akhirnya Anak-anak Kota tiba di pusat Kampung Namata. Mereka menatap begitu banyak batuan megalitik tersebar dinaungi pohon meranggas yang meliuk indah walaupun hanya tersisa ranting-ranting kurus tak berdaun. Batuan yang berbentuk segala rupa. Ada yang menyerupai meja dan ada yang berbentuk setengah lingkaran nyaris sempurna. Entah ilmu macam apa yang digunakan para leluhur untuk membentuk batu dengan nyaris sempurna.
Kamilah para Wowadu…Kami batuan megalitik dengan kekuatan magis. Hanya terlihat raut terpana dari Anak-anak Kota.
Aku Wowadu Mejadi Deo yang menyambut kalian sejak awal. Aku adalah tempat duduk untuk para Mone Ama atau tetua adat saat melakukan berbagai ritual magis.
Masing-masing dari Kami memiliki magis yang berbeda. Dan banyak dari Kami yang sebaiknya tidak kalian sentuh atau ada bala yang datang kepada kalian. Sontak Anak-anak Kota mundur teratur, khawatir tak sengaja bersentuhan dengan Kami para Wowadu.
Jangan takut, tak semua dari Kami yang membawa bala. Silakan kalian sentuh Wowadu Hubi Jaru.
Ya, sentuh saja Aku, seru Wowadu Hubi Jaru…Kalian akan mendapat keberkahan, karena Aku digunakan dalam ritual untuk menjauhkan kesusahan dalam hidup.
Kalian juga boleh menyentuh Aku! Wowadu Weka Ngaru berseru, Aku akan memudahkan jodoh kalian jika menyentuhku. Ketegangan mencair dari Anak-anak Kota. Mereka berseloroh “kami semua harus menyentuh Wowadu Weka Ngaru”
Jangan sentuh Aku dan Wowadu Kelaga Rue. Kali ini Wowadu Latia yang angkat bicara. Ritual untuk Aku diadakan untuk menjauhkan bencana petir terhadap manusia, hewan dan tumbuhan. Sedangkan Dia, Wowadu Kelaga Rue menjadi ritual saat ada kematian tak wajar atau malapetaka yang menimpa. Ritual diadakan untuk membersihkan dan menjauhkan dari segala petaka.
Wowadu lainnya seperti Wowadu Dahi Balla, diritualkan untuk menjaga warga Namata saat melaut. Wowadu Ngalu, diritualkan agar terhindar dari angin jahat. Sementara Aku, Wowadu Ngahu, diritualkan untuk meraih kemenangan dalam perang. Ritual-Ku berupa tabuhan gong, gong yang kalian lihat di salah satu rumah yang tidak boleh kalian abadikan isinya.
Anak-anak kota sudah terlanjur sibuk menekan rana mengarahkan bidikannya ke para Wowadu. Perkenalan dari Wowadu yang tersisa sudah tak digubrisnya lagi.
Terlalu panjang rupanya perkenalan Kami. Ya..perjalanan laut 9 jam dari Kupang menuju Pulau Sabu, tentunya melelahkan untuk mereka. Biarlah mereka menikmati pemandangan eksotis Kampung Namata dan ramahnya warga Namata. Semoga kami Wowadu di Kampung Namata bisa diceritakan kembali oleh Anak-anak Kota. Kami selalu membuka pintu lebar untuk kedatangan kalian di tanah kami. Tanpa tradisi cium hidung, sejak kalian menginjakkan kaki di Namata, kalian adalah keluarga Kami!
Berbulan-bulan kering hanya debu yang merebak, siang itu bulir-bulir air terjatuh dari awan yang menggelayut berat.
Kampung Adat Namata – Desa Raeloro, Kabupaten Sabu Raijua, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
(Nominator Kampung Adat Terpopuler – Anugerah Pesona Indonesia Award 2020)
Anak-anak Kota masuk kampung, terkagum2 ceritanya dengan segala keindahan Kampung Namata. Kering kerontang bener tapi warga Kampung Namata tetap semangat dan ceria menyambut setiap kita. Luar biasa memang Kampung Namata 🙂
Mau balik lagi kesini ya, biar puas foto2 hehehe