Menatap lembayung di langit Bali dan kusadari betapa berharga kenanganmu
Sore itu, berselang 15 tahun saat pertama kali saya menginjakkan kaki di Pantai Jimbaran. Masih dengan riuh rendah yang sama, barisan rumah makan menghalangi sebagian besar pemandangan pantai di Jimbaran.
Tanpa permisi saya melangkah kedalam salah satu rumah makan untuk mengambil jalan pintas menuju bibir pantai. Hampir pukul 6 sore saat itu, tak ada satupun pelayan yang menyapa saya. Mereka semua terlihat sibuk hilir mudik mempersiapkan pesanan dari pengunjung.
Di kala jiwaku tak terbatas
bebas berandai mengulang waktu
Terus berjalan hingga pasir menyentuh ujung jari kaki saya, yang saya lihat hanya ratusan meja makan yang berserakan di atas pasir Jimbaran. Tepat seperti yang terekam dalam ingatan saya, Jimbaran adalah salah satu destinasi tersohor untuk menatap indah lembayung Bali sambil menyantap hidangan laut khas Jimbaran.
Ratusan manusia duduk menghadapi meja panjang berisi piring-piring kosong yang tertata rapi. Tawa renyah, teriakan gembira anak-anak kecil, wajah-wajah bahagia terlihat jelas di balik bayang temaram lilin.
15 tahun lalu saya pernah menjadi bagian dari mereka. Berkumpul dengan keluarga, bercanda, tak peduli hidangan yang tak kunjung datang. Kebersamaan yang dilatari indahnya lembayung senja yang menjadi menu utama.
Teman yang terhanyut arus waktu mekar
mendewasa
12 tahun berselang, mengenang saat pertama kali saya menginjakkan kaki di Pulau Dewata, melangkah melewati labirin punggung manusia hingga pasir basah menyentuh telapak kaki saya.
Warna-warni Bumi mulai meredup sementara cahaya lilin di belakang saya semakin benderang menerangi meja-meja makan yang kini mulai terisi hidangan dengan aroma menggoda.
kembalilah sahabat lawasku
semarakkan keheningan lubuk
Bukan harum ikan bakar yang menghentikan saya, bukan pula kenangan silam di Jimbaran. Saya selalu tertegun terdiam saat menanti sang surya bergulir pulang dibalik garis cakrawala. Entah sihir apa yang merasuk setiap kali terang berganti gelap.
Saya sangat menikmati detik-detik saat gelap melahap sang terang. Bukan biru terang yang menyilaukan atau hitam kelam yang mengerikan tapi semburat warna-warni teduh yang memanjakan sang mata.
Di ketinggian bersama dengan angin yang menerpa wajah ataupun di pesisir saat air menyapu kaki, saya tertegun terdiam menyaksikan sang surya membakar langit hingga tersisa abu gelap malam.
Bilakah kuhentikan pasir waktu
tak terbangun dari khayal keajaiban ini
Lembayung Bali di langit Jimbaran saat itu mampu membuat saya lupa akan keramaian yang menggeliat di belakang saya. Hanya ada segelintir yang bergabung bersama saya menikmati lembayung senja ini di baris terdepan.
Tak salah cara saya menanti senja di Jimbaran, saat yang lain sibuk dengan kebersamaan dan nikmat santap malam, saya bisa menikmati senja dengan tenang, sepi, menikmati pudarnya warna-warna teduh berganti pekat malam.
Andai ada satu cara
tuk kembali menatap agung surya-Mu
Sebelum beranjak pulang, entah di Jimbaran atau belahan barat manapun di Pulau dewata, semoga saya selalu bisa menatap agung surya—Mu…….
Lembayung Bali
*** Lembayung Bali—Saras Dewi (2002) ***
Source: Youtube
Jadi siapa teman yg kau maksud kan ????
Itu… annabelle sama chucky
Lagunya.. Bikin terkenang masa2 asih duduk di bangku SMP… 😀
Hmmm saya belum lahir sih tahun 92 #ditimpuk
Leo, berhasil banget bikin aku inget kenangan akan lagu ini, asikkk pokok nya, sambil baca trus bersenandung.
Jimbaran, selalu menyajikan jingga yang teramat sederhana.
Salam kenal bang Leo, mohon ijin follow
Salam kenal kembali mas. terima kasih sudah mampir di blog saya