7 hari Amazing Race di Xplor NTT 2021

Nusa Tenggara Timur sepertinya akan selalu menarik untuk dikunjungi. Bukan hanya menarik, NTT selalu menorehkan cerita baru dalam setiap perjalanannya. Seperti perjalanan Xplor NTT – AyoJalanJalan Bareng Blogger di tahun 2020 silam yang kami kenang sebagai perjalanan Amazing Race. Dengan ritme cepat, kami harus pindah kota/kabupaten hampir setiap hari dan dengan moda transportasi darat, udara, laut plus dengan waktu tempuh yang lumayan lama. Tahun ini, Xplor NTT 2021 sebenarnya tidak jauh berbeda hanya ritmenya sedikit melambat karena destinasi yang kami kunjungi tidak begitu padat. Namun, kenangan yang ditorehkan tak kalah berkesan, mulai dari penerbangan yang dibatalkan tiba-tiba, hingga hampir terbawa angin super kencang di atas bukit.

XplorNTT 2021
XplorNTT 2021

Sekitar 7-8 Kota dan Kabupaten kami singgahi di Xplor NTT 2021, sebagian besar dalam rangka memenuhi undangan destinasi yang masuk menjadi nominasi API Award 2021.

DAY 1 – PESAWAT BATAL, ROMBAK JADWAL

Hari pertama kami tiba di Bandara El Tari Kupang, kami seharusnya langsung melanjutkan perjalanan menuju Bajawa. Malang tak dapat di tolak, pesawat lanjutan kami dibatalkan karena kondisi cuaca buruk di lokasi tujuan. Alhasil kami mencoba menyusun ulang jadwal agar tetap memenuhi jadwal yang sudah di susun.

La Moringa

Café mungil bersih didominasi warna putih yang sebagian besar menyajikan moringa/daun kelor sebagai bahan dasar atau campuran makanannya. Ice cream, minuman dan makanan ringan, serta makanan utama, diracik dengan campuran daun kelor. Saya sempat mencicipi Se’i sapi dengan nasi yang direbus menggunakan air daun kelor dan Moringa Milk. Selain itu, La Moringa juga menjadi sentra oleh-oleh makanan, mulai dari cokelat kelor, bolu kelor, sampai abon dan sambal pun tersedia di sini.

Kami juga sempat diajak berkeliling ke area dapur yang sangat bersih. Kami wajib menggunakan alas kaki khusus yang sudah disediakan, penutup rambut dan apron.

Dekranasda

Kedua kalinya mengunjungi Galeri Seni Dekranasda di Kupang dan selalu senang melihat jajaran tenun berwarna warni. Tenun-tenun dijual mulai dari harga Rp 50.000,- hingga jutaan. Banyak juga aksesoris lainnya seperti gelang atau masker hanya berkisar Rp 15.000,-an.

Kunjungan kami sebenarnya untuk melihat galeri Tais Belu di ruang pamer Dekransda di lantai 2. Ya…Dekranasda Kupang memiliki semacam galeri yang memamerkan tenun dari berbagai daerah di NTT. Berhubung Tais Belu masuk menjadi nominasi Cinderamata di API Award 2021, kami memfokuskan di booth Kabupaten Belu. Ternyata, kami juga diperbolehkan untuk meminjam beberapa helai Tais Belu lengkap dengan aksesorisnya untuk berfoto di Pantai Namosain.

Pemotretan di Namosain
Pemotretan di Namosain

DAY 2 – SELAMAT DATANG KABUT BAJAWA

Penerbangan Kupang – Bajawa tak sampai 1 jam, namun udara di Bajawa berbeda dengan Kupang. Angin Bajawa sepoi-sepoi cenderung dingin yang berbanding terbalik dengan angin panas dan kering di Kupang.

Bukit Wolobobo

Negeri di atas  awan, begitu warga lokal menyebutnya. Bukit Wolobobo masuk dalam nominasi Dataran Tinggi API Award 2021. Dengan ketinggian 1700 mdpl, tak heran memang Wolobobo berada di atas hamparan awan. Tak sulit untuk mencapai Wolobobo, jalannya sudah cukup baik hanya sedikit berlubang di beberapa ruas. Semakin ke atas, jalanan semakin berkelok dan menyempit diapit hutan.

Dari area parkir, untuk menuju puncak cukup berjalan kaki sekitar 5 menit. Sepanjang perjalanan kita bisa menemukan beberapa spot foto dan area kemah. Sangat disayangkan, Wolobobo saat itu tertutup kabut tebal. Kami tidak dapat melihat Gunung Inerie yang menjadi primadona pemandangan Wolobobo. Waktu terbaik mengunjungi Wolobobo memang saat pagi hari walaupun jika beruntung, di sini juga bisa menyaksikan sunset indah berlatar Inerie.

DAY 3 – HATI TERTAMBAT DI DESA ADAT

Setelah dari Bukit Wolobobo, kami langsung melanjutkan perjalanan darat selama 7 jam menuju Maumere. Lewat tengah malam ketika akhirnya kami bisa merebahkan diri di Hotel Sylvia, Maumere.

Monumen Tsunami

Tak banyak yang tahu atau memang hanya saya yang kurang update, ternyata Maumere pernah dirundung bencana tsunami pada tahun 1992. Gelombangnya mencapai 3.5 meter dan meluluhlantakkan puluhan ribu bangunan di Kabupaten Sikka, Maumere. Hanya sangat disayangkan, monumennya kini kurang terawat. Sampah daun berserakan, kolam yang terisi air cokelat, beberapa fisik monument yang berkarat dan menjengit dan tidak adanya papan informasi sama sekali.

Galeri Akusikka

Galeri Akusikka masuk menjadi nominasi Destinasi Belanja di API Award 2021. Galeri ini merangkul beberapa pelaku UMKM dan Ekonomi Kreatif untuk memperkenalkan produknya lebih luas. Selain tenun Sikka ada pula beberapa produk tenun yang sudah diaplikasikan menjadi topi, tas, ikat kepala dan berbagai aksesoris. Di sini kita juga bisa mencicipi kuliner lokal seperti singkong hitam. Kudapan lokal berupa singkong yang telah difermentasi sehingga berwarna hitam. 

Desa Lewokluok

Kami kehabisan kata-kata untuk Desa Lewokluok. Lewokluok masuk di nominasi Kampung Adat API Award 2021. Saat awal penyambutan, ekspektasi kami sama seperti sambutan ketika berkunjung ke desa-desa adat pada umumnya. Ada doa-doa yang dilantunkan dalam Bahasa lokal, pengalungan tenun sebagai tanda penerimaan dari warga desa, lalu ada suguhan arak yang terbuat dari pohon lontar, rokok, pinang lalu dilanjutkan dengan tari-tarian.

Semua berubah ketika kami berjalan menyusuri satu persatu lokasi di Desa Lewokluok. Sambil tetap diiringi tari-tarian, seluruh warga, hampir 800 kepala keluarga, tumpah ruah menyambut kami. Ada yang memperlihatkan keseharian mereka menumbuk padi, memasak kuliner lokal, memecah kemiri hingga menenun. Selesai dari spot pertama, kami kembali diiringi tari-tarian menuju ke lokasi ke dua. Kami juga diberi kehormatan untuk memasuki Koke Bale, rumah induk yang menjadi pusat dari Lewokluok. Rumah-rumah adat 7 suku di Lewokluok dibangun mengelilingi Koke Bale. Tak hanya di situ, jamuan makan tak henti kami nikmati di setiap perhentian kami. Hingga menjelang tengah malam kami disuguhi tari-tarian dan nyanyian. Berbaur bersama seluruh warga, menikmati ‘pesta’ kecil yang mereka persiapkan untuk menyambut kami. Dan semuanya dilakukan dengan tulus yang terpancar dari mata dan senyum riang warga Lewokluok.

DAY 4 – KASTIL DISNEYLAND UNTUK KEDUA KALI

Sekitar 1 jam perjalanan darat dari Lewokluok menuju Larantuka. Meskipun tengah malam, malam itu kami merasa berenergi lebih melihat antusiasme warga Lewokluok. Malam itu ditutup dengan kenangan manis dari Lewokluok. Larantuka menjadi salah satu kota favorit saya di NTT. Meskipun matahari menyengat, tapi semilir angin sejuknya terus berhembus. Bangunan-bangunan gerejanya juga cantik berpadu dengan alam Larantuka. Taman-taman kota yang berbatasan dengan laut membuat pesona Larantuka semakin sulit dilupakan.

Gereja Katedral Reinha Rosari

Kami menyebutnya istana Disneyland karena bentuknya yang cantik menyerupai kastil. Sementara warga setempat lebih mengenalnya dengan Gereja Besi. Konon dahulu, Raja Adobala membangun gereja Ini menggunakan kayu dan bambu. Baru pada tahun 1884, gereja ini dipugar dengan besi-besi yang dibawa dari Den Haag, Belanda. Bangunan gereja ini murni hasil kerja keras dari masyarakat Larantuka, bukan peninggalan dari Portugis atau Belanda.

Kapela Tuan Ma

Bangunan menyerupai rumah dengan pekarangan memanjang ini ternyata memegang peranan penting dalam peristiwa Semana Santa (pekan suci Paskah) di dalam bangunan ini tersimpan patung Tuan Ma / Bunda Maria yang akan diarak saat Semana Santa. Patung Bunda Maria sendiri tersimpan di dalam ruangan dengan pintu berlapis 3 yang hanya bisa dibuka setahun sekali saat Semana Santa.

Kapela Tuan Ma
Kapela Tuan Ma

Taman Kota Felix Fernandez

Taman ini belum sepenuhnya rampung. Masih ada penataan untuk area hijaunya, namun sudah bisa dinikmati untuk bersantai atau berfoto. Ada anjungan kayu yang bisa digunakan untuk menikmati senja atau berfoto. Yang saya suka, tidak ada instalasi berbentuk hati atau sangkar burung. Hanya berupa dermaga yang dicat dengan warna warni indah.

DAY 5 – FATUMNASI KAMI KEMBALI

Selesai mengeksplore Larantuka, kami kembali terbang menuju Kupang sebagai base kami. Mengganti pakaian kotor dengan pakaian bersih, kami segera berangkat menuju Kota Soe melalui jalan darat dengan lama tempuh sekitar 3 jam.

Tiba di Soe hampir tengah malam, angina Soe berhembus kencang dan dingin. Tak perlu menyalakan pendingin ruangan, bahkan air mineral kami berubah menjadi air dingin di pagi hari.

Fatumnasi

Pukul 5 pagi kami sudah menempuh perjalanan menuju Fatumnasi dengan harapan bisa meyaksikan matahari terbit. Apa daya, matahari muncul lebih cepat dari dugaan kami. Akhirnya kami memutuskan untuk naik terus menuju Gunung Mutis, tempat hutan bonsai berada. Dengan ketinggian antara 1500-2400 mdpl, Gunung Mutis menawarkan suasana sejuk dengan matahari pagi yang bersinar cerah. Sepanjang perjalanan kita akan melewati rumah-rumah warga dengan dapur uniknya yang berbentuk kerucut dan berada di depan rumah.

Kawasan Gunung Mutis termasuk sebagai wilayah yang dikeramatkan oleh warga setempat, termasuk hutan bonsainya. Pohon-pohon seperti bonsai raksasa dengan batang ditumbuhi lumut menambah kesan mistis di Gunung Mutis.

Kami juga mendapat kesempatan berjumpa dengan Bapak Mateos Anin, ketua adat yang menyambut kami dengan sangat ramah. Beliau tinggal di rumah yang memiliki homestay. Mungkin lain kali kami akan menginap di homestay Bapak Mateos agar bisa mengejar matahari terbit. Fatumnasi sendiri masuk ke dalam nominasi Surga Tersembunyi di API Award 2021

Gereja Santo Antonius Padua Sasi

Saat melanjutkan perjalanan dari Soe menuju Atambua, kami sempat mampir di sebuah bangunan gereja unik. Bentuknya sedikit melingkar dengan atap asimetris. Jika tidak melihat salib besar di puncaknya, mungkin tak akan menduga kalau ini adalah bangunan gereja. Warga lebih mengenalnya dengan Gereja Del Piero. Karena pada tahun 2003 pembangunan gereja ini berlangsung dengan donasi dari Del Piero yang merupakan keponakan dari Pastor Antonio Razzoli, Pastor Paroki pertama di daerah ini.

Gereja Del Piero
Gereja Del Piero

Tuamese

Terbuai keindahan Gereja Del Piero, kami terlambat mengunjungi Bukit Tuamese, bukit yang masuk ke dalam nominasi Destinasi Baru API Award 2021. Ditambah lagi dengan salah jalan, kami hanya punya waktu singkat mengabadikan Tuamese sebelum gelap.

Dari area parkir, kita harus menaiki anak tangga menuju puncak Bukit Tuamese. Dengan view 360 derajat, kita bisa menyaksikan garis pantai dan danau yang konon disebut menyerupai Raja Ampat karena karang-karang yang menyembul.

DAY 6 – DI BELU MENGGUNAKAN TAIS BELU

Galeri Tenun Atambua / Dekranasda Belu

Belum sah kalau melihat Tais Belu hanya di Dekranasda Kupang, kami mampir ke Dekranasda Belu untuk melihat Tais Belu langsung di lokasi asalnya. Di sini kami mendapat banyak informasi tentang Tais Belu, mulai dari proses pembuatan hingga filosofi-filosofi Tais Belu. Saya bahkan mendapat kesempatan berharga untuk mencoba mengenakan Tais Belu lengkap dengan aksesoris dari ujung kepala hingga kaki.

DAY 7 –  TERBAWA ANGIN DI ATAS BUKIT

Setelah perjalanan panjang yang memakan waktu 8 jam, kami kembali ke Kupang. Menghabiskan hari terakhir XplorNTT 2021. Melewati test PCR untuk kepulangan kami serta audiensi di Kantor Gubernur, masih ada 1 destinasi yang kami kunjungi.

Bukit Lelogama

Sekitar 2 jam 30 menit dari Kota Kupang untuk menuju Bukit Lelogama yang masuk di nominasi API Award 2021 kategori Ekowisata. Wilayah ini masih belum dikelola sehingga kita bebas berhenti di spot manapun untuk mengabadikan bukit-bukit Lelogama. Di ketinggian 1300 mdpl, angin di sini sangat-sangat kencang, berhati-hatilah dengan barang bawaan agar tidak terbang tertiup angin.

Di sini kita juga diperbolehkan untuk camping dengan semua perlengkapan yang dibawa sendiri. Hanya harus berhati-hati karena banyak anjing liar dan sapi-sapi yang dibiarkan bebas merumput. Jika bermalam di sini dan dalam kondisi cerah kita bisa menyaksikan gugus bintang dengan sangat jelas. Bukit Lelogama terletak jauh dari pemukiman sehingga aman dari polusi udara dan cahaya. Bahkan saat ini di Gunung Timau sedang berlangsung pembangunan Observatorium terbesar di Asia Tenggara untuk menggantikan Boscha yang sudah banyak terpapar polusi cahaya.

______________________________________

Dengan kondisi perjalanan kami yang padat dan selalu berubah kondisi, seperti kadang kami ada di tempat panas, beberapa jam kemudian kami ada di tempat dingin. Atau sebentar kami berkaos dan bersendal ria menaiki bukit, selang beberapa jam kami harus tampil rapi bertatap muka dengan Bapak Kadis, atau Bapak Bupati. Beruntunglah kami selalu disupport oleh Lois Jeans dengan kemejanya yang super nyaman, bisa dipakai saat formal ataupun informal. Atau sweater Lois dengan bahan yang tidak menyulitkan untuk dipacking namun bisa tetap membuat badan hangat saat cuaca dingin. Plus ada juga totebagnya yang memudahkan kami untuk membawa barang-barang saat harus packing dan pindah kota dengan cepat saat Xplor NTT 2021

Lois Jeans
Lois Jeans

Sepertinya tak akan pernah cukup waktu untuk mengeksplorasi NTT. Bahkan dengan sistem ‘Amazing Race’ trip kami tetep tertinggal dengan banyaknya destinasi yang ada atau destinasi-destinasi baru yang bermunculan untuk dieksplor. Nusa Tenggara Timur, kami siap untuk Xplor NTT Part 3 lohhhh! #optimis

Enterpreneur, Travel Blogger, Instagramer, Hotel & Resto Reviewer, Fuji Film User.

Leave a Reply