“Kita coba rute ini saja, jalan ini tidak banyak yang tahu jadi bisa lebih tenang menikmati alam”
Penuh semangat saya menganggukkan kepala, setuju akan saran pemuda lokal yang menjadi pemandu saya menuju dua air terjun yang sangat tersohor di Lombok Utara, di kaki Gunung Rinjani. Memang tak terlihat adanya loket atau penunjuk apapun di mulut jalan setapak yang beriringan dengan hamparan sawah. Maka dari itu, saat kembali nanti kita harus menggunakan jalur resmi untuk membayar tiket masuk, ujar sang pemandu.
Sepi saat saya mulai melangkah menyusur bantaran saluran irigasi. Di sisi kanan saya mengalir sungai kecil berdasar batu kerikil yang terlihat jelas. Airnya jernih mengalir deras bertentangan dengan arah perjalanan saya. Mulanya sawah yang terbentang di kiri saya hingga rindang pepohonan menyemak di atas kepala. Tak lama berselang saya sudah berada di dalam wilayah hutan Taman Nasional Gunung Rinjani.
Dalam diam saya mengekor sang pemandu. Suara riang dedaunan tertutup oleh derasnya air yang berkejaran. Sesekali saya melewati lubang menganga di badan tebing. Gema air yang menabuh dinding tebing terdengar nyaring tiap kali ada lubang menganga. Ternyata ada 2 aliran air, satu mengalir tepat disamping kanan saya, satunya mengalir menembus di dalam perut tebing. Demi pembagian air yang adil, dibuatlah 2 aliran air untuk dibagi ke seluruh desa.
Pemandu pun sempat menawarkan sensasi perjalanan yang lebih “gila” lagi. Dia mengajak saya menyusur terowongan air. Tingginya tepat seukuran tinggi orang dewasa dengan air setinggi lutut. Gelap pastinya, dengan bias cahaya yang sesekali menyeruak masuk dari lubang-lubang yang menganga. Tak sanggup saya menerima tantangannya, terbayang dingin dan lembab di sepanjang terowongan, saya lebih memilih menikmati harum aroma daun dan tanah basah serta sapuan hangat mentari.
Perjalanan saya memakan waktu lebih lama dibanding rute normal. Namun saya tak harus menuruni tangga di rute normal. Perjalanan saya sepenuhnya datar hingga bersinggungan dengan muka-muka lelah pengunjung yang baru saja menuruni tangga. Dari sini, saya hanya tinggal turun sedikit untuk sampai di air terjun pertama, air terjun Sendang Gile.
Dengan ketinggian 30 meter, air yang bersumber dari Danau Segara Anakan ini mengalir dalam 2 tingkatan. Tingkat pertama mengalir tak terlalu tinggi dan terhalang tumbuhan pakis. Saya berangan, apakah ada kolam lain di atas sana sebelum akhirnya Sendang Gile jatuh ke bumi. Karena di bagian bawah Sendang Gile sendri tidak terdapat kolam. Airnya cepat mengalir tak menyisakan telaga untuk melepas dahaga.
Perjalanan saya lanjutkan menuju air terjun Tiu Kelep. Tangga curam menjadi pembuka sebelum melintas di atas jembatan. Aliran air berganti di sisi kiri sementara sisi kanan saya berbaris pepohonan. Mencapai Tiu Kelep sedikit membutuhkan perjuangan. Selepas menyusuri saluran irigasi, jalan tak lagi beraspal.
Alam sepenuhnya membentang hingga tiba di air terjun Tiu Kelep. Berkali-kali saya harus sedikit melompati jalinan akar pepohonan yang menyembul. Berkali pula saya harus menyeberangi sungai kecil. Dasarnya yang berbatu menjadikannya sedikit sulit untuk mencari pijakan yang cukup kuat ditengah derasnya air dingin Segara Anakan. 45 menit saya bertemankan hanya pemandu dan semesta, tak satupun saya berpapasan dengan pengunjung lain. Tenang pasti di Tiu Kelep sana, begitu pikir saya.
Kecewa menyergap ketika gemuruh air terjun dikalahkan oleh suara canda dan teriakan pengunjung. Hampir di tiap sisi Tiu Kelep disesaki pengunjung. Dari kejauhan saya menatap air terjun setinggi 40 meter ini. Satu air terjun utama yang terpancar deras sementara ada air terjun lainnya yang keluar dari dinding tebing menghijau membentuk tirai. Sedikit sulit mencari pijakan karena hampir sepenuhnya Tiu Kelep dipenuhi dengan bebatuan. Batu-batu yang aman untuk berpijak telah dihinggapi pengunjung-pengunjung lain yang enggan beranjak.
Sepertinya sang pemandu menangkap raut kecewa saya. Bergegas ia menanyakan apakah cukup menikmati air terjun Tiu Kelep? Ia menawarkan satu tempat yang katanya tak banyak orang tahu. Ia menjanjikan saya untuk menikmati Tiu Kelep dari sisi berbeda. Saya langsung menyambut baik janji manis sang pemandu. Bergegas kami beranjak meninggalkan Tiu Kelep bersama puluhan penikmatnya.
Adalah Desa Senaru, Desa di kaki Gunung Rinjani. Selesai memarkirkan kendaraan, sang pemandu mengajak saya berjalan. Jalan setapak dengan lengkung gerbang bertuliskan “Selamat Datang Di Gunung Rinjani” Rupanya ini adalah pintu masuk pendakian Gunung Rinjani melalu Desa Senaru. Kanan kiri saya dipenuhi perkebunan warga. Kopi dan coklat mendominasinya. Saya berjalan menanjak terus selama 15 menit.
Tiba-tiba sang pemandu berbelok ke dalam perkebunan kopi milik warga. Saya hanya manut mengikutinya. Di ujung perkebunan ada warung kecil yang menjual kopi, susu dan teh hangat. Selepas memesan minum, saya digiring ke tepi anjungan tepat di bawah warung. Kecewa saya sirna seketika. Pemandangan indah Tiu Kelep dari ketinggian terpampang di depan saya.
Di kaki Gunung Rinjani yang menghijau, air terjun Tiu Kelep membelah sempurna sang hijau dengan putih buihnya. Sungguh pemandangan yang indah saya dapatkan kala itu. Sepi berteman segelas coklat panas dengan sejuk udara pegunungan, tak ingin lekas pergi rasanya. Saya hanya duduk terdiam mengagumi Tiu Kelep dari sisi yang berbeda dimana semesta masih meraja tak terkalahkan oleh hiruk pikuk manusia.
Baca juga: 6 Pantai di Lombok Selatan yang Paling Menawan
***
Catatan C4ME untuk air terjun Tiu Kelep, Lombok:
- Terletak di Desa Senaru, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, Propinsi Nusa Tenggara Barat. Dengan waktu tempuh sekitar 2-3 jam dari Ibukota Mataram.
- Selain Sendang Gile dan Tiu Kelep masih ada 1 air terjun Batara Lejang, namun disarankan untuk menggunakan jasa pemandu untuk mencapai air terjun ini.
- Rute alternatif menyusur irigasi bukanlah rute umum sehingga lebih aman jika menggunakan pemandu.
Keren ya air terjun Tiukelepnya! Dulu kayanya waktu saya pergi ga seramai itu. Kak Leo perginya pas weekendkah atau hari biasa?
Kayanya dulu wiken sih kak, jadinya kaya pasar hehhe