Kami bergegas turun dari kendaran setelah hampir 3 kali mondar-mandir di Jalan Raya Ubud yang sesak disinggahi barisan roda empat. Padahal sudah 2 kali kami melintasi akses masuk menuju Campuhan Ridge Walk namun kami abaikan.
Setelah mendapat penjelasan dari seorang Bapak, berseberangan dengan museum Antonio Blanco, tepat di sebelah Iboh Warwick Inn, kami mendapati jalan kecil menurun menuju Bukit Campuhan.
Sabtu sore yang riuh rendah saat kami memarkirkan kendaraan di halaman Sekolah Kejuruan yang jika tidak ada kegiatan mengajar beralih fungsi menjadi lahan parkir Bukit Campuhan. Puluhan kendaraan roda dua berjajar menyesakkan hampir setengah dari lahan parkir. Muda-mudi bersolek elok terlihat bersemangat menjinjing gawai yang telah lekat dengan tongkat.
Sepertinya saya tak akan menemukan gambaran lirik lagu “Tepi Campuhan” milik Slank di Bukit Campuhan ini. 23 tahun silam mungkin gambaran yang di berikan Slank dalam lantunan liriknya adalah nyata.
~ Tepi Campuhan Aku sendiri menahan hening redup senja ini.
~ Tepi Campuhan Aku menyepi menahan dingin kabut senja ini.
~ Disini Aku sendiri, disiniku saat ini menikmati sepi.
Baca juga: Air terjun Tegenungan, air terjun di dataran rendah Gianyar
Antrian pendek jalan setapak di sebelah Pura Gunung Lebah sudah melibas bayangan saya akan heningnya Bukit Campuhan. 23 tahun, tak apalah jika kini Bukit Campuhan menikmati masa kejayaannya sebagai salah satu destinasi di Ubud. Jalan setapak selebar 1.2 meter dipadati hilir mudik pengunjung.
Wajah-wajah antusias mengalir bersama kami sementara dari arah berbeda terlihat wajah berpeluh menyisakan senyum yang masih merekah. Bunyi bel sepeda kerap memaksa kami untuk sedikit menepi mempersilakan untuk mendahului kami. Teriakan panik gadis-gadis juga kerap terdengar saat berhadapan dengan pengunjung Bukit Campuhan yang membawa serta anjing sebagai teman melepas senja.
Sepertinya Bukit Campuhan bukan hanya milik majikan namun juga ajang mencari pasangan bagi para hewan peliharaan.
Penduduk lokal menyebutnya sebagai Bukit Cinta tempat muda-mudi melantunkan rayuan bersama liukan ilalang. Turis asing menyebutnya sebagai Sunset Hill karena pemandangan senja yang memukau dari atas bukit.
Saya sendiri mengandaikan Bukit Campuhan sebagai “punggung naga”. Jalan setapak yang meliuk mengikuti naik turunnya bukit bagaikan punggung naga yang sedang meliuk-liuk menari menembus awan.
Baca juga: Menanti pagi di Desa Pinggan bersama 3 gunung
Memang tak lagi saya temukan hening senja, tak lagi ada dingin kabut senja di Bukit Campuhan. Bukit sepanjang 2 Kilometer ini kini hidup dengan canda tawa dan rayuan muda-mudi.
Namun di akhir perjalanan saya masih menemukan sekeping suasana yang selaras dengan sepenggal lirik “Tepi Campuhan”.
~ Kulepas mata memandang sawah hijau membentang.
~ Dua ekor anjing berkejaran menyusuri pematang…
~ Tepi Campuhan…
Baca juga: Air terjun Sekumpul, Lemukih, Gerombong? Apalah arti sebuah nama
Catatan C4ME saat mengunjungi Campuhan Ridge Walk:
- Patokan Campuhan Ridge Walk/Bukit Campuhan adalah Signage Iboh Warwick Inn, berseberangan dengan Museum Antonio Blanco.
- Jika tidak boleh memarkirkan kendaraan di halaman sekolah, pengunjung harus parkir di sepanjang Jalan Ubud. Jangan lupa untuk menggunakan kunci ganda kendaraan.
- Tidak ada penjual makanan dan minuman di sepanjang jalur trekking. Persiapkanlah bekal dari awal.
- Ada beberapa peraturan seperti dilarang berbuat asusila, dilarang membuang sampah, dilarang membuang puntung rokok.
- Waktu yang tepat mengunjungi Bukit Campuhan adalah pagi atau sore hari.
Cek juga tempat wisata di Bali lain yang tak kalah menarik dan instagramable.
Walaupun ramai, tapi tetap bisa berfoto dengan cukup leluasa ya, koh. Itu saja sudah cukup xD
Bener, harus pagi-pagi supaya lebih teduh.
Iya, pagi dan sore sama2 bagus sih