Antara kantuk dan suka cita yang berjejalan pagi itu saat menginjakkan kaki di Bandara Udara Sentani. Bersyukur atas undangan dari Ayo Jalan-Jalan, saya dan ke 6 teman blogger lainnya bisa mengunjungi Sentani yang setelah saya cek di peta ternyata hanya berjarak 2 jam dari perbatasan Papua Nugini.
Setelah Pulau Kei kemarin, akhirnya perjalanan kali ini menjadi titik terjauh saya menginjakkan kaki di Timur Indonesia. Perjalanan kami ke Sentani adalah untuk menyaksikan Festival Danau Sentani 2018 (FDS2018) yang berlangsung dari tanggal 19-23 Juni 2018.
Tertundanya jadwal penerbangan mengakibatkan kami tak punya waktu untuk berbenah, bersiap dan beristirahat sebentar. Hampir pukul 10 saat kami mendarat di Bandara Sentani, sementara pembukaan FDS2018 juga berlangsung di jam yang sama sehingga kami langsung meluncur ke lokasi Dermaga Pantai Khalkote.
Saya sempat berseloroh, “jadi kita ke danau atau ke pantai?”
Mungkin karena Danau Sentani memiliki luas 9.300 hektar, tak ubahnya seperti lautan, maka disebut Pantai Khalkote…masuk akal, saya mengamini penjelasan salah satu teman blogger.
Tiba di Khalkote rasanya saya mendapat shock teraphy. Khalkote yang terletak 75 meter di atas permukaan laut dan dibatasi oleh pegunungan Cyclops sebenarnya memiliki angin sejuk, tapi hampir 12 jam terkurung dalam burung besi berpendingin, tiba-tiba saya harus terpapar matahari Papua tanpa pelindung tabir surya. Tak takut hitam, hanya terbakar matahari itu menyiksa sekali. Di tambah kami harus bergegas untuk mengabadikan pembukaan FDS yang akan menampilkan Tari Isosolo.
Yang menjadi unik, Tari Isosolo ditarikan bukan di atas panggung, tapi warga desa di seputaran Danau Sentani yang menjadi penari dan ambil bagian dalam tarian akan berdatangan dari balik pulau-pulau kecil menggunakan rakit sambil menari, menabuh gendang dan meneriakan seru-seruan. Kagum bak melihat pertunjukan teater yang dilangsungkan di alam terbuka.
Awal mulanya Isosolo adalah tarian perang, dilihat dari aksesoris yang digunakan, bahkan beberapa ada yang membawa busur dan tombak. Seruan-seruan lantangnya pun berkesan gagah dengan gerakan-gerakan yang cenderung energik tak gemulai seperti layaknya tarian.
Melihat dan mendengar Isosolo ini lebih membakar semangat ketimbang mendayu-dayu. Seiring berkembangnya jaman, Isosolo memang telah beralih makna menjadi tarian selamat datang atau penyambutan. Meski tetap dengan gagah, kini disertai dengan membawa hasil bumi sebagai persembahan.
Di Festival Danau Sentani pengunjung tak hanya disuguhi dengan tari-tarian tapi juga bisa berbelanja
pernak-pernik khas Papua. Yang menjadi primadona adalah Noken, tas tradisional yang terbuat dari anyaman serat kulit pohon. Tasnya elastis sehingga bisa memuat banyak barang.
Konon katanya tas ini hanya boleh dibuat oleh masyarakat Papua. Wanita Papua harus bisa membuat Noken sebagai tanda kedewasaan. Pembuatannya pun ternyata tak mudah walau bentuknya terlihat sederhana. Serat kulit kayu dipipihkan, dijemur dan dipilin sehingga membentuk benang, lalu dipintal secara manual hingga menjadi Noken. Tak heran harganya pun sedikit mahal.
Selain berbelanja, yang kerap dicari wisatawan adalah face painting dengan hanya merogoh kantong Rp 5.000,-/warna yang ditorehkan. Mulai dari motif-motif lokal hingga mengikuti euphoria Piala Dunia yang memang berlangsung bersamaan dengan FDS 2018. Kak Eka, Kak Lenny dan Koko Sinyo sempat menjajal lukis wajah, tak lama hanya memakan waktu sekitar 15 menit untuk 1 lukis wajah dan bisa awet seharian meskipun berkeringat.
Terakhir yang tak mungkin dilewatkan adalah mencicipi kuliner lokal, misalnya seperti Papeda. Masyarakat Papua memang lebih familiar dengan Papeda dibanding nasi. Papeda memang dipercaya lebih aman dikonsumsi karena tidak mengandung kadar gula seperti nasi.
Selain itu juga rendah kolesterol dan kaya serat. Umumnya Papeda dimakan dengan menggunakan kuah ikan kuning karena Papeda sendiri rasanya tawar sehingga harus dipadu dengan sayur dan lauk agar lebih nikmat.
Satu lagi yang tak boleh dilewatkan jika sudah menginjak Tanah Papua adalah mencoba ulat sagu. Saya sempat menjajal ulat sagu yang sudah di panggang di salah satu stand kuliner yang menyajikan kreasi kuliner dengan bahan-bahan lokal. Rasanya ternyata tak terlalu buruk, mirip seperti udang dengan bagian crunchy yang saya yakin 100 persen kalau itu adalah bagian kepala ulat sagu.
Lalu apakah saya mencoba yang mentah? Saya tak punya hati untuk memotek hidup-hidup kepala ulat sagu dan mengunyahnya. Tapi menurut beberapa teman yang mencoba, rasanya gurih seperti margarin.
5 hari perhelatan FDS 2018 berhasil menarik wisatawan lokal dan mancanegara. Di tahun ke sebelas ini, terdata sekitar 50.000 pengunjung dari total 5 hari berlangsungny FDS 2018. Untuk saya yang baru pertama kali menginjakkan kaki di Papua, tentunya sangat bersyukur bisa menyaksikan FDS secara langsung. Setidaknya hanya dengan mengunjungi festival ini saya bisa mendapatkan banyak gambaran tentang Papua secara keseluruhan.
Di malam penutupan FDS kami kembali dibuat terpukau dengan tarian “Khenambai Umbai” yang dibawakan secara kolosal oleh pelajar-pelajar Jayapura dengan paduan tari tradisional dan digital video maping. Makna tariannya pun bagus dengan menyelipkan pesan agar kita tetap menjaga alam semesta.
Terakhir, kelompok musik Papua Original menutup dengan mengajak seluruh pengunjung menari di tengah lapangan. Ada haru terselip ketika di ujung Timur semua bergembira bersatu sementara di Ibukota kerap terjadi perpecahan.
Semoga Khenambai Umbai, Satu Hati, Satu Jiwa, Untuk Indonesia bisa bergaung lantang di seluruh Indonesia.
Ah udah kangen Papua aja kaaaan
panas-panas tapi ngangenin yaaa hehee
Pengalaman yang menyenangkan melihat Alam dan budaya Papua langsung di Festival Sentani. Penasaran juga dgn ulat sagu rasa margarin. Hahahhaha
Hahhaa aku juga penasaran tp ga tega makan yg idup
Budaya, makanan sama alamnya paket komplit ya kak.
Lalu mendadak kangen D'Penyet hahah
Hahaha di Jkt ada kayanya kan?
Seru banget nih Festival Sentani ini. Kalo ada kesempatan coba, mungkin aku juga coba ulat sagu yang udah dipanggang hehehe
Kl yg dipanggang sih enak, asal jgn kebayang lg makan ulat aja hahaha
Masih penasaran sama makan papeda yang afdol katanya harus diseruput. Tapi pengen makan mujair bakar juga mumpung di Sentani, hahaha!
takut nyangkut di tenggorokan kl seruput kak haha
Pengalaman yang kece yaa bisa menyaksikan langsung budaya Papua di Festival Sentani 😀
Cheers,
Dee – heydeerahma.com
Sangat kak, bersyukur banget hehehe
It was such a great honor and bless to set your feet in Papua, koh. I envy you! Hahaha. Aku nggak tertarik ke Raja Ampat, tapi kalau yang ini aku mauuukkk.
You're not alone koh. Gue juga nggak berani makan ulat sagu hidup-hidup :((
Baru setitik aja yg diexplore, Papua nya gede bgt dan pasti indah2 semua
Sampai jumpa di Festival Danau Sentani 2019 manajer! #dadahdadah
Makassar dulu bukan? hahahaha
Duh Budaya Papua, selalu bikin jatuh cinta. Walau namanya satu Papua, tapi setiap suku punya budaya berbeda. Semoga suatu saat bisa lihat Festival Danau Sentani
Betul mba, semoga saya juga bisa ke lembah Baliem seperti Mba Evie hehehe
Keren. Mantabs. Luar biasa. Kesempatan langka.
Terima kasih Ibu
Duh, jadi ngiler lagi nih pingin papeda… Cek gofood dlu ah, kali aja ada yg jual
hahaha abang go foodnya juga geli2 kali bawanya
Penasaran sama rasa ulat sagu..
Semoga suatu saat aku juga bisa mampir kesana… Gak nyangka udah tahun ke 11..
kl yg dipanggang sih kaya udang kak, kl yg mentah katanya kaya margarin
Menarik banget ceritanya, penen banget bisa ke Papua dan melihat festivalnya secara langsung. Baru tau kalo papeda sebenaenya lebih sehat dikonsumsi, daripada nasi..,
Hehehe iya krn tidak mengandung glukosa kaya nasi…tapi blum terbiasa juga sih dengan rasa Papeda yang dingin2 anyep hahaha