Cerita Berharga dari Negeri Atas Angin Bojonegoro

Negeri Atas Angin, Api Abadi lalu Kedung Peti…

“Koq seperti berada dalam setting komik silat Ko Ping Ho ya”, seloroh kak Tracy begitu mendengar lokasi yang akan kami sambangi di Bojonegoro.

Kami setuju mengiyakan sambil terbahak.

“Untung Negara Api belum menyerang”, batin saya meningkahi seloroh lucu kak Tracy.

Tujuan pertama kami pada hari itu adalah Negeri Atas Angin. Tak banyak memang informasi tulisan atau gambar tentang lokasi wisata yang berjarak 2 jam dari pusat Bojonegoro. Saya membayangkan mungkin tak ubahnya Stone Garden di Padalarang atau Tebing Keraton di Bandung. Menatap alam dari ketinggian.

Bersama dengan Mas Edy, sebagai pemandu kami, travel blogger asli dari Bojonegoro. Imama, travel blogger dari Surabaya. Kopertraveler dan tentunya Kak Tracy, kami berlima berangkat dari Hotel Dewarna Bojonegoro sambil berharap semesta memberikan langit terindahnya untuk kami.

Bukit Lawang di kejauhan
Bukit Lawang di kejauhan
Mendung tak beranjak
Mendung tak beranjak

Tak sampai 2 jam nyatanya kami sudah tiba di pelataran parkir Negeri Atas Angin. Cukup tertata dengan baik sepenglihatan saya. Sign besar berwarna-warni bahkan telah terpampang di samping pintu masuk menuju Negeri Atas Angin. Matahari bersinar cukup terik saat itu namun tetap tak mampu menyibak kerumunan awan mengitam menggantung rendah.

“Ayo dipercepat”, seru saya karena khawatir akan turun hujan. Belum lagi ketika meilhat rombongan lain yang baru tiba di pelataran parkir, 4-5 mobil langsung mengekor kami. Selesai membeli tiket kami segera menanjak menuju puncak bukit Negeri Atas Angin.

View dari bukit cinta
View dari bukit cinta

“Di sana itu Bukit Lawang atau Gunung Kembar”, Mas Edy berujar.

Di ujung jarinya saya melihat 2 gunung yang terlihat layaknya pintu gerbang…ahh sepertinya benar ini setting cerita Ko Ping Ho. Saya membayangkan pendekar di atas punggung rajawali terbang melintas diantara 2 gunung kembar itu.

Tak lama kami bisa mengagumi Bukit Lawang dengan permadani hijau yang terlihat sendu. Matahari tak mampu lagi menerpa hijau persawahan ratusan meter di bawah kami. Awan tak mampu membendung jatuhnya air. Kami bergegas lari, untungnya ada beberapa saung tak berhuni bisa kami gunakan untuk berteduh sebentar.

Seorang bapak mendekati kami, bercerita tentang Negeri Atas Angin tanpa diminta. Saya kurang begitu menangkap ceritanya, perhatian saya teralihkan berkali-kali dengan hujan yang semakin deras. Beliau pun bercerita dengan menggunakan bahasa campur-campur. Sesekali kosa kata Jawa meluncur dari mulutnya. Saya berusaha merangkai cerita yang tercerai berai.

Tak perlu antri
Tak perlu antri

Sedikit yang bisa saya rangkai dari kisah beliau adalah

“Bukit ini bernama Bukit Cinta, tempat Raden Atas Aji dan Dewi Sekarsih memadu kasih. Sehingga dipercaya siapapun yang mengutarakan cintanya di atas bukit ini, niscaya akan langgeng. Nama Raden Atas Aji pun diabadikan menjadi nama tempat ini, Negeri Atas Angin. Selain bukit ini, ada tempat lain yang wajib dikunjungi, Watu Telo, Goa yang berjarak 500 meter dari sini”

Mas Edy
Mas Edy

Tanpa tahu apa itu Watu Telo karena selanjutnya semakin banyak kosa kata Jawa yang tak dapat saya mengerti. Hujan pun berhenti tepat setelahnya. Kami bergegas menuju ujung Bukit Cinta. Tak ramai, hanya segelintir anak muda yang duduk di sepanjang tepi bukit.

Sangat menyenangkan pikir saya. Sementara di lokasi terkenal lain, jangankan untuk berfoto, berjalan saja susah karena penuhnya pengunjung. Di sini kami bebas berfoto berlatar Bukit Lawang. Semesta memang tetap tak menyibak tirai kelabunya, namun setidaknya Ia sudah berbaik hati menahan curahan air.

Kak Tracy
Kak Tracy

Tibanya rombongan keluarga menyadarkan kami untuk menyudahi kagum kami atas Bukit Cinta. Watu Telo tiba-tiba terngiang kembali di kepala kami berlima. Hingga akhirnya kami sepakat menyusur pematang sawah dan kebun untuk menuju Watu Telo.

Melewati jalan setapak kami beriringan. Sesekali kami harus menepi, merapat ke rimbun ilalang memberikan jalan kepada peladang yang membawa hasil ladang dari arah berlawanan. Senyum tulus selalu mengembang di wajahnya.

Andai warga kota bisa seperti ini mungkin bisa sedikit menyejukkan kondisi penat Ibu kota.

Imama
Imama

“Sepertinya kita sudah terlalu jauh”, Saya mempertanyakan kebenaran rute kami.

“Bener ini satu-satunya jalan, yo wiss lanjutkan saja, tanggung sudah sampai sini”, Koh Sinyo, Kopertraveler menjawab ragu saya.

Tak lama berselang hujan mengguyur kami tanpa peringatan, tak ada saung, tak ada tempat berteduh. Kami berada ditengah jalan setapak terapit ladang jagung. Hanya 2 pohon besar yang menaungi kami. Lama kelamaan daunnya pun terlalu lelah menampung tetesan hujan. Kami berbasahan ria mencoba melindungi perangkat elektronik kami.

Tak apa orangnya basah, yang penting kamera dan hp tetap kering”, seloroh kami berlima.

Hujan kali ini tak membuat saya kehilangan mood. Kami berlima terdiam sedikit kedinginan setiap angin berhembus kencang. Saya menatap satu persatu, tak ada gurat kesal, marah, saya hanya melihat senyum dan canda.

Bagai anak kecil yang senang bermandi hujan. Kami mencoba menikmati kebersamaan dalam guyuran hujan. Sungguh menyenangkan berada di antara kalian, Ko Sinyo, Mas Edy, Kak TC, Imama. Kalian membuat kesusahan menjadi indah untuk dikenang. Perjalanan sederhana menjadi berharga. Bersenang-senang karena hari ini yang akan kita kenang selalu hingga renta nanti.

Ko Sinyo
Ko Sinyo

Begitu hujan reda, kami memutuskan untuk segera kembali. Biarlah Watu Telo tak kami jumpai mungkin ini pertanda kami harus kembali ke sini di lain waktu. Kami juga tak ingin menantang semesta lebih lanjut.

Awan kelabu masih menggantung rendah di atas kami. Kami bergegas turun. Kami terbahak hampir sepanjang perjalanan pulang. Imama bergidik ngeri dan bertingkah lucu. Apa pasal? Hujan rupanya mengundang cacing-cacing gemuk nan besar untuk berpesta di permukaan tanah basah. Imama yang kadung membuka sepatunya berjingkat lucu sambil mengamati tanah basah, takut menginjak cacing-cacing subur itu.

Wisata yang masih sepi
Wisata yang masih sepi

Negeri Atas Angin memberikan pemandangan indah dan pengalaman berharga untuk kami. Sepele memang, hanya terguyur hujan. Tak ada tandingan dengan perjalanan yang diterpa ombak dan badai.

Namun saya percaya pada sebuah kalimat, sifat seseorang akan muncul saat sedang traveling. Dan saya berkesempatan mengenal lebih jauh 4 teman saya.

Saya bisa berkata, saya senang dan rindu berjalan beriringan bersama kalian.

Jalan0jalan jeprat-jepret
Jalan-jalan jeprat-jepret

***

Catatan C4ME :

  • Rute dari kota Bojonegoro melewati Kalitidu-Ngasem-Sekar
  • Tiket masuk seharga Rp 5.000,-
  • Siapkan baju ganti dan payung. Dataran tinggi identik dengan cuaca tak menentu

Enterpreneur, Travel Blogger, Instagramer, Hotel & Resto Reviewer, Fuji Film User.
14 Responses
  1. Mas Edy Masrur

    Kangen jugaaa, semuanya. Hari istimewa bisa menghabiskan waktu dengan kawan-kawan istimewa.

    Semoga bisa traveling bareng lagi ya.

  2. Sinyo @kopertraveler.id

    Kalian membuat kesusahan menjadi indah untuk dikenang. Perjalanan sederhana menjadi berharga. Bersenang-senang karena hari ini yang akan kita kenang selalu hingga renta nanti.

    Aku harus bisa merangkai kata seperti ini hehe…dalam banget…keren

    1. Anthony Leonard

      Kl baca ceritanya di atas, ada menyebutkan profil Raden Atas Aji yang jadi inspirasi penamaan Negeri Atas Angin ini 🙂

  3. Tracy

    "Saya berusaha merangkai cerita yang tercerai berai." Kak Leo masih bisa berusaha merangkai,tc lost in translation. Hahaha.. Penuh kenangan ya trip ini. Hujan2an dan Ko Ping Ho! Kata kuncinya. :p

  4. jonathan bayu

    Memang agak mirip tebing keraton ya koh tapi ini pemandangannya bukit hijau dan persawahan, apa bisa melihat sunrise/sunset juga?

Leave a Reply