Siang pertama saya di Pulau Kei, pulau kecil di wilayah Maluku Tenggara. Kami melaju di jalanan yang nyatanya sudah sangat baik untuk pulau yang jauh dari bingar Ibukota. Padahal awalnya saya sempat berpikir kalau kami akan melewati jalan gompal sana sini seperti saat saya berada di Nusa Penida beberapa waktu lalu.
Tak ada kemacetan, tak ada lalu lalang kendaraan, hanya sesekali kendaraan kami berpapasan dengan kendaraan lain. Terkadang kami harus keluar masuk perkampungan yang akhirnya membuat saya sedikit buta arah karena merasa berputar-putar di satu perkampungan.
Iseng-iseng saya membuka map di gawai. Alih-alih memastikan posisi, saya malah mendapati bahwa Pulau Kei berada di bawah Papua. Ini adalah perjalanan ke Timur yang paling jauh untuk saya.
Perjalanan kami berujung di satu perkampungan. Hanya ada papan bertuliskan Ohoidertawun serta sekelompok ibu-ibu yang sedang berbincang persis di bawah papan. Kami mengucap salam yang serta merta dijawab ramah oleh mereka.
Ahhh rupanya benar, di timur memang penuh kehangatan. Tak ada tatap penuh selidik dari mereka, hanya senyum lebar mempersilakan kami melintas lalu mereka melanjutkan perbincangan serunya dalam bahasa setempat.
“Tidak Meti”, ujar seorang lokal yang kebetulan ikut bersama kami.
“Tidak surut airnya” Air laut saat itu memang hampir menggenangi sebagian besar pasir. Menyisakan sedikit bagian berpasir putih yang bisa kami jejaki. Perahu-perahu nelayan terombang-ambing pelan mengikuti buaian ombak.
“Seharusnya kita bisa berjalan kaki dari sini untuk melihat lukisan leluhur di dinding tebing karst. Tapi karena tidak meti, kita harus menggunakan perahu untuk menuju lokasi lukisan leluhur”
Kami hanya mengiyakan, daripada harus pulang dengan tangan hampa. Satu persatu kami berjejalan di dalam perahu. Memang tak sampai harus menerjang ombak karena kami berjalan menyusuri tebing, kedalamannya pun tak seberapa, namun sepertinya perahu kami memang agak kelebihan beban sehingga jarak antara bibir perahu dan air hanya beberapa jengkal.
Kami tak keberatan jika harus basah, namun kami semua membawa kamera tanpa persiapan dry bag atau kantong plastik, itu yang menjadi kekhawatiran kami setiap kali perahu oleng ke kiri dan ke kanan.
15 menit yang terasa sangat panjang akhirnya berakhir, sang pengemudi perahu menunjuk-nunjuk ke atas tebing. Awalnya memang sulit menemukan lukisan-lukisan leluhur tapi setelah kami berhasil menemukan satu lukisan, sepertinya menjadi lebih mudah untuk menemukan lukisan-lukisan lainnya yang didominasi warna merah tanah. Yang banyak tertoreh adalah gambar-gambar serupa matahari, manusia atau cap tangan.
Pikiran saya melayang mengingat film-film Disney semacam Brother Bear atau Moana. Lukisan yang saya lihat di Pantai Ohoidertawun serupa dengan lukisan prasejarah yang ditampilkan di film-film.
Kami hanya bisa melihat dari bawah, berjarak sekitar 5-10 meter dari lukisan-lukisan leluhur karena tangga kayu yang tersedia untuk menaiki tebing sudah dalam kondisi yang tidak layak. Apalagi badan kami termasuk besar-besar.
Sampai kini sepertinya belum ada penelitian lebih lanjut tentang lukisan leluhur seperti berapa usianya dan bercerita tentang apa lukisan leluhur ini.
Perjalanan kembali kami sudah tak terlalu menengangkan, sepertinya kami sudah menemukan posisi nyaman untuk berjejalan dalam satu perahu. Kami tak menyadari kondisi laut yang sudah mulai memasuki masa meti.
Baru kami sadari ketika saat kembali ke titik awal keberangkatan, kami terpaksa berhenti jauh di tengah. Perahu-perahu yang tadi mengapung kini kandas merapat di pasir putih. Berjalan di pasir basah ternyata sungguh menyulitkan karena kaki kami melesak lebih dalam dari biasanya. Apalagi pasir pantai Ohoidertawun ini termasuk salah satu pasir terhalus di Asia yang wujudnya serupa dengan susu bubuk.
Setiba di tepi, kami dibuat terperangah saat melihat meti (surut) di Pantai Ohoidertawun. Lautan pasir putih membentang, konon katanya bisa sejauh 200 meter ke tengah laut dan membentang sepanjang 3 kilometer. Kami berjalan menyusuri pasir putih ke arah Barat.
Ternyata ada 2 akses menuju Ohoidertawaun. Akses pertama, akses yang kami lalui. Posisinya akan lebih dekat dengan lukisan leluhur namun tak ada fasilitas sama sekali di sini. Berbeda di sisi Barat Ohoidertawun yang sudah memiliki penginapan, warung serta gazebo untuk beristirahat.
Di bagian ini juga sudah lebih “tourist area” dengan adanya ayunan di tengah laut untuk berfoto atau papan berisi pesan warna-warni yang cukup menarik untuk diabadikan.
***
Perjalanan ini sebagai bagian perjalanan bersama ayojalanjalan.com
Saya tahu persis bagaimana rasanya bawa kamera di perahu kecil. Untung ga hujan ya. Kamera wajib dibawa untuk mengabaikan fenomena seunik dan selangka ini.
Iyaa makanya drybag wajib bgt lah
Hahaha aku dapat membayangkan kecemasan kakak-kakak di atas perahu yang oleh kiri kanan itu, apalagi jika air lautnya terciprat masuk ke dalam. Kamera kita adalah alat perang kita, kalau sampai kenapa-napa rasanya hilang tangan sebelah. Tapi melihat view Pulau Kei ini, memang sungguh Tak Menyesal datang ke tempat ini. Deg2annya langsung terbayar kontan
Pulau Kei masih punya banyak pantai yang masih bersih dan belum banyak dikunjungi wisatawan. Paling2 cuma penduduk lokal aja yang tau
Mungkin yang paling ribut waktu itu adalah aku. hahaha tau dangkal gitu, aku jalan kaki masih menang yaaa
hahah paling sepinggang ya kl jalan kaki, mentok2 sedada lah. Kamera dll yang naik perahu biar aman
Wihhhh asik ya koh, keren juga ada peninggalan sejarahnya dan msh ada disanaaa
Iya, semoga kedepan ada penelitian ttg lukisan ini
Unik bgt bisa meti hingga 200 meter ke tengah laut.. Pulau Kei ini memang lagi gencar banget ya dipromosikan. Liat video di instagram tmn, cakep banget pulaunya, air laut bening, pasir pantai bersih. Semoga turis yang datang kesana ttp bs menjaga kebersihan Pulau Kei ya 🙂
Cakep pake banget ni pulau. Masih sepi pulau jadi masih terjaga banget
Menurutku masyarakat di kota kecil atau pedesaan, entah barat atau timur, memang memiliki karakter hangat dan ramah.
Aku kira "meti" itu nama orang hehe
Iya semua punya ciri khas masing2. Haha Meti itu artinya surut kak
Wow ! Kebayang gak sih? Ribuan tahun yang lalu para leluhur melukis dinding itu? Pesan apa kira-kira yang mau disampaikan ? Atau cuman corat-coret iseng?
Bagus sekali kepulauan Kei ini ya. Semoga bisa kesana.
Bener kata mas Nugi.. ga barat ga timur kalo di kota kecil atau desa biasanya ramah n hangat.. hehehe…
itu kayak di film2 ya gambar yg di dindingnya..
Kebayang film Moana ya mas?
Serius pasirnya terhalusss? Waaa.. Aku mau tuh.. Wkwkw.. Btw aku dah mulai ngumpulin pasir2 pantai dr beberapa lokasi. Masih blm banyak si… Tp InsyaAllah kalo travelling mau sempetin ke pantai buat ambil kerang dan pasirnya. Wkwkwk
Seru banget kayaknya.. Tp serem pake perahu kecil. Takut kecebur. Wkwkwk
Dulu pernah ke Maratua, di airport temen saya tidak diperbolehkan bawa pasir Maratua, jadi hrs ditinggal. Knp ya?
Yeay pantai!
Btw itu di goa kok ada bercak kayak telapak tangan ya, unik banget Mas.
Nah itu yang namanya lukisan leluhur mas hehe