Tak lengkap berkunjung ke Serambi Mekkah tapi tak mengunjungi salah satu museum terbaik yang dimiliki Indonesia menurut saya. Museum Tsunami Aceh, museum yang merekam detail peristiwa pilu yang terjadi di tahun 2004.
Pukul 8 pagi saat Aceh mulai menggeliat di Minggu pagi. Di pesisir Lampuuk, seorang bapak mengucap salam kepada keluarganya. Dia berjalan menyusur tepi pantai menuju perahu kayunya. Bersiap mencari tambahan hasil jaring di jermal tak jauh dari bibir pantai. Para ibu bergegas menuju pasar ikan di Ulee lheue sambil memutar otak “masak apa saya hari ini untuk buah hatiku”
Jalanan mulai dipadati hilir mudik warga saat bumi berguncang hebat. Gempa dengan kekuatan hebat meluruhkan beberapa bangunan di Aceh. Belum reda rasa panik, dentum menyerupai meriam terdengar jauh di tengah lautan.
Kala itu bunyi letupan senjata memang tak asing bagi warga saat terjadi pergolakan di Serambi Mekkah. Warga di pesisir pantai berlomba memunguti ikan yang menggelepar saat air laut surut jauh ketengah samudera. Tak ada tanya di benak mereka, apa gerangan yang terjadi.
Baca juga: Titik 0 Kilometer Indonesia
Tetiba ombak setinggi puluhan meter berkejaran kembali ke bibir pantai siap menyapu apa saja yang menghalanginya. Aceh panik seketika kala itu. Jalan-jalan mulai digenangi air keruh yang membawa serta puing-puing, pepohonan, reruntuhan bangunan, lalu tanpa aba-aba sang ombak sudah menerjang dengan kecepatan menyamai kecepatan pesawat.
Hitungan detik, Aceh tenggelam dalam air keruh, puing-puing dan ribuan jenazah.
Duka masih meremang tiap kali mengingat kejadian yang merenggut ratusan ribu nyawa saudara-saudara di bumi Serambi Mekkah. Terlebih saat saya mempunyai kesempatan mengunjungi salah satu situs untuk mengenang tsunami, Museum Tsunami Aceh. Meski hanya gambaran sekilas, setidaknya museum karya Ridwan Kamil ini mampu membawa saya merasakan kekalutan yang terjadi kala itu.
Baca juga: 6 Situs Mengenang Maha Dahsyat Tsunami Aceh
Space of Fear
Lorong gelap dan sempit dengan air yang mengalir di dinding kiri dan kanan. Jalan yang sedikit menurun dan berair, hembusan angin dingin dan suara debur ombak mampu menghadirkan suasana saat gelombang tsunami menerjang. Gelap, basah dan dingin tentunya.
Sayangnya suasana yang ramai dan pengunjung yang terus mendesak maju, saya tidak bisa mengabadikan lorong tsunami ini.
Space of Memory
Ruangan berdinding kaca ini menggambarkan kondisi bawah laut. Kebingungan para korban tsunami yang ditenggelamkan gelombang tsunami digambarkan dengan pantulan kaca. Cahaya remang di langit-langit merefleksikan cahaya matahari yang menembus ke dasar lautan. 26 monitor yang menganalogikan kondisi bawah laut yang berkarang menampilkan foto-foto untuk mengenang kedahsyatan tsunami.
Space of Sorrow
Memasuki sumur doa ini seketika duka mengudara. Lantunan ayat-ayat Alquran terdengar lirih pilu berkumandang mengiringi kurang lebih 2000 nama korban tsunami yang tercantum di dinding silinder setinggi 30 meter.
Jauh diujung atas tulisan kaligrafi “Allah” terlihat indah dan sakral, menggambarkan bahwa semua mahkluk hidup akan kembali pada Sang Pencipta.
Selain itu cerobong ini juga menggambarkan usaha para korban tsunami untuk keluar dari gulungan tsunami
Space of Confuse
Selepas berduka, lorong cerobong yang berputar-putar ini menggambarkan kebingungan warga Aceh setelah berhasil keluar dari murka tsunami. Kebingungan akan arah tujuan, kebingungan mencari sanak saudara yang hilang, dan kebingungan karena kehilangan harta dan benda.
Lorong gelap yang semakin keatas menjadi terang sedikit demi sedikit untuk meyakinkan warga Aceh bahwa selalu ada jalan dan terang diakhir bencana.
Space of Hope
Jembatan yang membentang diterangi cahaya matahari menggambarkan secercah harapan untuk warga Aceh. 54 bendera negara dan batu bundar yang bertuliskan kata damai merepresentasikan negara-negara yang turut andil dalam membangun Aceh kembali. Damai pun diserukan agar tak ada lagi konflik meraja di bumi Aceh.
Selain ruangan-ruangan ini, di Museum Tsunami juga terdapat mini bioskop yang memutar video dokumenter saat terjadi tsunami. Bagaimana kalang kabutnya warga Aceh terekam jelas di video amatir. Dahsyatnya kerusakan yang disebabkan dan penggambaran wajah Aceh setelah tsunami menerjang.
Aceh lumpuh total, jenazah bergelimpangan. Selain itu juga terdapat diorama dan ruang pamer pajang beberapa benda yang hancur terkena tsunami seperti alat rumah tangga dan sepeda motor.
Di lantai 3 terdapat informasi yang cukup lengkap mengenai tsunami agar masyarakat, terutama warga Aceh lebih tanggap terhadap tanda-tanda yang muncul sebelum tsunami menerjang. Museum Tsunami ini juga dapat digunakan sebagai banguan evakuasi saat tsunami terjadi kembali. Bentuknya yang meruncing di kedua ujung berfungsi sebagai pemecah ombak layaknya bahtera.
Tanpa bermaksud membuka luka yang telah mengering, seperti halnya Museum Tsunami ini menjadikan tragedi tsunami sebagai pembelajaran, sebagai pengingat untuk lebih bersyukur, menanamkan bahwa
ada kuasa Yang Esa di atas segalanya.
Jika boleh saya andaikan, Aceh seperti terlahir kembali, tsunami layaknya air yang mencuci semua luka lama dan menghadirkan Aceh yang baru. Kini tanah rencong sudah berkembang pasca tsunami. Layaknya beranjak dewasa, Aceh kini lebih damai, lebih bersahabat dan menawan.
***
Catatan C4ME saat mengunjungi Museum Tsunami Aceh:
- Untuk lebih mendalami tragedi tsunami, ikutilah alur perjalanan per ruang dengan berurut.
- Saat gempa mengguncang Aceh 2012 silam, Museum Tsunami dijadikan lahan evakuasi oleh warga setempat karena dikhawatirkan terjadi tsunami
btw masuk museum tsunami ini bayar atau free sih?
Gratis mas
Begitu banyak kenangan di museum ini.
tapi kenangannya agak menyedihkan ya